halodunia.net Saya punya pengakuan: Saya suntik vaksin lagi di Amerika, setelah ikut balap sepeda Unbound Gravel, di Kansas, baru-baru ini. Saya suntik di negara bagian Texas, sehari sebelum terbang kembali ke tanah air. Waktu itu saya memilih vaksin Johnson & Johnson, karena hanya butuh sekali suntik.
Sebenarnya, saya sama sekali tidak berniat suntik lagi di Amerika ini. Saya sudah divaksinasi beberapa bulan lalu, bersama manajemen dan pemain Persebaya. Waktu itu disuntik Coronavac (Sinovac).
Sebelum berangkat ke Amerika, saya cek darah lengkap. Memastikan kondisi saya sebaik mungkin. Dan memang, berkat latihan dan persiapan menuju lomba, kondisi saya termasuk sangat baik. Bukan yang paling fit, tapi termasuk sangat baik.
Kecuali satu: Antibodi saya hanya 15. Itu setelah lebih dari sebulan divaksin. Istri saya lumayan, di angka 37.
Kami pun berangkat. Ternyata, sampai Amerika, kami tak perlu karantina. Kami pun bingung mengatur program untuk sepekan, yang sudah kami sisihkan untuk karantina. Pilihannya stay di negara bagian Texas, latihan di sana sekaligus menyesuaikan diri dengan cuaca dan kondisi.
Kami menyewa rumah. Bukan hanya supaya lebih hemat dari hotel, tapi supaya lebih punya ruang luas untuk sepeda-sepeda dan perlengkapan kami yang lumayan banyak.
Karena itu, kami pun harus ke supermarket untuk belanja kebutuhan dapur dan lain-lain. Ketika keliling itu, saya menyadari betapa luar biasa sederhananya penanganan pandemi di Amerika. Super simple.
Kami pergi ke Walmart, hypermarket paling populer di Amerika. Baru masuk, sudah ada papan tulisan penawaran vaksinasi. Gratis. Cukup menuju bagian farmasi di Walmart, mendaftar di sana atau lewat aplikasi, lalu suntik. Benar-benar walk in. Tidak ada prosedur panjang. Tidak ada penjagaan aneh-aneh. Tidak ada “event” merayakan vaksinasi.
Kami juga ke beberapa jaringan apotek/toko kebutuhan populer. Seperti Walgreens dan CVS. Semua punya papan tulisan atau pengumuman jelas: Silakan walk in untuk suntik vaksin.
Iseng, saat di Walgreens, kami bertanya ke loketnya. “Benarkah di sini bisa vaksin?”
Jawaban yang menjaga: “Anda bisa suntik sekarang juga kalau mau.”
Kami tanya lagi: “Ada vaksin apa?”
Jawabannya: “Ada Pfizer, Moderna, atau Johnson & Johnson. Silakan mau pilih yang mana.”
“Gratis?”
“Gratis.”
Hebat juga. Minta vaksin semudah beli obat batuk.
Terus terang, justru kami yang “ngeper.” Segampang itu. Seramah itu. Benar-benar tidak banyak basa-basi.
Setelah diskusi, kami memutuskan tidak dulu. Kami ingin fokus ke lomba di Kansas dulu. Just in case nanti ada efek samping setelah suntik. Serta, kalau memilih Pfizer atau Moderna, akan ada komplikasi jadwal, karena harus dua kali suntik.
Kebetulan, di pekan yang sama, seorang sahabat kami juga sedang di Amerika. Ia dan istrinya sama-sama dokter. Sedang urusan keluarga di negara bagian yang berbeda. Saya pun diskusi dengannya. Kebetulan, ia seperti saya. Antibodinya juga kecil setelah tiga bulan divaksin di Indonesia.
Saya juga diskusi dengan beberapa teman dokter di Indonesia. Apa oke disuntik lagi vaksin di Amerika. Rata-rata bilang no problem. Oke, saya punya opsi itu sebelum pulang. Saya pikirkan saja nanti. Saya putuskan nanti.
Lomba selesai. Sebelum balik ke Indonesia, sehari sebelum terbang, kami semua swab PCR. Tegang juga, mengingat praktis selama tiga pekan kami sangat jarang bermasker. Ikut masyarakat di Amerika yang sudah tidak perlu bermasker kalau sudah divaksin. Dan di sana, yang divaksin sudah separo lebih populasi.
Alhamdulillah, semua aman. Lalu, saya harus bikin keputusan. Kalau mau vaksin lagi, harus hari itu. Tidak ada kesempatan lain. Jangan pagi sebelum terbang, khawatir kalau demam dan ada efek samping lain, malah tidak bisa ke bandara dan terbang pulang.
Segera saja setelah swab saya diantar ke salah satu farmasi/toko kebutuhan terdekat. Saya ke loket farmasinya, bilang ingin vaksin. Saya benar-benar walk in. Tidak mendaftar via aplikasi. Tidak masalah, kata yang di situ. Saya cukup mengisi formulir selembar. Menunjukkan kartu identitas (paspor). Dia semua yang mengisi data di komputer.
Ketika saya bilang ingin Johnson & Johnson, dia mengecek dulu apakah benar-benar ada stok. Ternyata ada dan siap. Saya disuruh tunggu sebentar, nanti akan dipanggil masuk ruang periksa untuk disuntik.
Hanya beberapa menit, saya dipanggil. Masuk. Duduk. Perempuan yang akan menyuntik menunjukkan vaksinnya. Menunjukkan kalau itu Johnson & Johnson. Lalu dia mengingatkan, saya mungkin akan mengalami sedikit demam dan kurang enak badan dalam satu dua hari ke depan. Tapi itu tidak apa-apa.
Saya bertanya, bagaimana dengan kejadian pengentalan darah yang diberitakan itu. Dia bilang, jangan khawatir, itu hanya terjadi pada perempuan usia 19-49, dan hanya satu dari satu juta.
Tidak ada cek tekanan darah. Langsung tancap di lengan kiri. Beres.
“Sebelum pulang, tolong jangan ke mana-mana dulu 15 menit. Silakan duduk di tempat tunggu atau jalan-jalan keliling toko. Kalau dalam 15 menit tidak ada keluhan apa-apa, cukup nongol depan jendela dan tunjukan jempol. Silakan pulang,” katanya.
Saya langsung mendapatkan kartu bukti vaksin, lengkap dengan nama vaksin dan nomor serinya. Lalu ada lagi menyusul di email. Saya juga dapat voucher belanja USD 5, siapa tahu ingin belanja di situ. Lumayan, saya beli cokelat.
Sudah. Beres. Selesai. Dalam dua pekan setelah suntik, saya sudah dikategorikan sudah divaksinasi tuntas.
Sore itu kami gowes dulu. Malamnya, saat packing, saya mulai demam. Saya pun minum obat, tidur. Bangun pagi masih agak kliyengan, tapi sudah tidak apa-apa. Meneruskan packing, lalu siap-siap check out dan makan lalu ke bandara untuk pulang.
Teman saya yang dokter itu ternyata kemudian juga suntik vaksin lagi. Kemudian, ada teman saya lain lagi di Los Angeles, yang sedang di Amerika urusan lain, juga suntik vaksin (juga Johnson & Johnson karena praktis sekali suntik).
Pembaca yang budiman, saya menulis ini bukan untuk apa-apa. Saya ingin menggambarkan, betapa sederhana, betapa tidak hebohnya, proses vaksin di Negeri Joe Biden. Tidak perlu ada kehebohan khusus dari para pejabat, tidak perlu ada penjagaan khusus dari aparat.
Benar-benar simple. Sebarkan vaksinnya, siapa saja silakan suntik di mana saja. Tidak perlu ke rumah sakit atau kawasan khusus. Cukup ke farmasi atau bahkan supermarket.
Itu saja di Amerika masih dirasa kurang cepat.
Dan saya kira kunci melawan pandemi ini memang harus bisa simple. Kebijakan pemerintah Amerika sangatlah simple. Seperti yang saya tulis di Happy Wednesday sebelum ini (Baca: Masker Akal Sehat), ada anjuran jelas dari pemerintah pusat. Bahwa kalau sudah divaksin, maka seseorang tidak perlu lagi bermasker. Tapi, kebijakan lebih detail diserahkan kepada masing-masing pemilik usaha, apakah mewajibkan konsumennya memakai masker atau tidak.
Tidak ada istilah-istilah PSBB, PS Mikro, PS Lockdown, PS Ambyar, atau apalah. Semua simple, pakai common sense alias akal sehat. Tidak ada lempar-lemparan tanggung jawab soal penerapan kebijakan. Tidak ada bupati ngomel ke gubernur, gubernur ngomel ke menteri, lalu kalau berani ngomel ke presiden. Tidak ada lempar-lemparan tanggung jawab soal izin kegiatan.
Dan yang terpenting: Kebijakannya berdasarkan rasa percaya kepada sains (ilmu pengetahuan). Bukan kebijakan yang ganti-ganti karena menyikapi apa yang sedang ramai di sosmed.
Setelah divaksin masih bisa positif? Iya. Tidak perlu heboh gaduh. Yang penting tidak sampai sakit parah, tidak sampai masuk rumah sakit, tidak sampai meninggal. Bukankah itu tujuan utama vaksin? Bukan untuk tidak positif, tapi untuk mengurangi atau menghilangkan risiko terburuknya!
Setelah divaksin bisa demam dan tidak enak badan? Jangan dihindari. Saya melihat promo vaksinasi di sana. Seorang dokter berbicara: “Kalau Anda demam setelah divaksin, Anda seharusnya senang. Itu tandanya vaksinnya bekerja.” Tidak seperti kita, yang seolah inginnya divaksin air saja supaya tidak sakit sama sekali.
Masih ada efek samping dari vaksin tertentu? Jangan heboh. Satu dari satu juta. Harus bisa berpikir sangat global. Dampak baiknya masih jauuuuuh lebih baik dari risikonya.
Mohon maaf. Saya memang lagi sering geleng-geleng kepala baca berita-berita hebohnya pandemi di negeri kita tercinta ini. Hal-hal kecil dihebohkan luar biasa, sehingga tidak ada lagi yang memperhatikan secara holistik.
Energi lebih capek ngurusi yang kecil-kecil, daripada memikirkan bagaimana yang paling utama nanti (mengakhiri pandemi ini). Ya itu tadi, kebijakan jadi dibuat berdasarkan reaksi sosmed, bukan berdasarkan prinsip kebaikan, apalagi sains.
Sekali lagi mohon maaf.
Sekarang saya sadar betul, siapa saja bisa sekolah setinggi langit untuk bisa memikirkan hal-hal paling rumit. Sayangnya, yang kita butuhkan mungkin justru sekolah untuk berpikir simple. Atau malah vaksin yang bisa membuat masyarakat kita lebih simple… (Azrul Ananda)