Halodunia net Padamasa lalu pernah ada pembuatan saluran irigasi di tempat yang sama. Terowongan air kuno itu ditemukan di bawah poros fondasi utama Bendungan Tamblang, proyek Bendungan Tamblang di Buleleng, Baliyangmasih berjalan kelak akan memenuhi kebutuhan irigasi.
Tim peneliti Balai Arkeologi Bali sudah meninjau terowongan kuno itu pada 8 Desember 2020. Peneliti mencatat terowongan itu memiliki lebar 70 sentimeter dan tinggi 170 sentimeter. Ada banyak ceruk kecil di dinding terowongan. Kemungkinan dulu digunakan sebagai tempat menaruh sumber penerangan selama proses pembangunan. Agaknya sedimen sudah masuk ke dalam lubang terowongan yang berada di tebing tepi Sungai Aya itu.
Adapunsumber terkait terowongan air termuat dalam Prasasti Bebetin AI (896). Termaktub penjelasan adanya kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai ahli terowongan. Profesi itu dalam bahasa Bali disebut undagi pangarung. Keterangan tentang undagi pangarung juga ada dalam Prasasti Batuan (1022) bersama dengan tukang kayu (undagi kayu) dan tukang batu (undagi watu).
Prasasti Batuan menjelaskan, ahli terowongan kena pajak pendapatan dari hasil profesinya, yakni sebanyak satu kupang tiap tahun. Keterangan itu menyiratkan bahwa ahli terowongan sebagai pekerja profesional mendapat upah dan punya peran penting dalam kehidupan masyarakat Bali Kuno.
Namun, tidak selalu pekerjaan ahli terowongan berjalan sukses. Bila mengamati bentuknya, terowongan di lokasi proyek Bendungan Tamblang tak tuntas pembuatannya pada masa lampau. Kenapa?
Menembus Batuan
Ahli terowongan bukan cuma soal kepandaian menggunakan peralatan. Mereka harus mendalami pengetahuan tentang tanah, geodesi, dan hidrologi. Mereka terampil mengukur tanah, membuat garis lurus dan belokan, termasuk pula susunan tingkatan perbedaan tinggi untuk memastikan ketenangan air saat mengalir.
Para ahli terowongan juga harus mengatasi tantangan adanya batu besar di tengah pengerjaan. Jika memungkinkan mereka akan memecah batu. Tapi bila tak mungkin, tukang menggali bagian lain untuk membelokkan arah terowongan. Namun kedua hal itu tampaknya tetap menjadi kendala utama pembuatan terowongan kuno di lokasi proyek Bendungan Tamblang.
I Gusti Ngurah Suarbhawa mengatakan, terowongan kuno itu belum rampungkarena keterbatasan teknologi. “Kemungkinan pembuatan terowongan itu gagal karena kondisi bebatuan,” katanya. Kondisi alam juga berpengaruh.
Struktur bebatuan di Bali hampir keseluruhan bermula dari sebaran formasi purba Buyan-Beratan atau kejadian geologi yang membentuk daratan Pulau Bali. Formasi Buyan-Beratan bertaut dengan aktivitas lempeng tektonik yang kemudian membentuk gunung api di Bali. Susunan geologi itu menghasilkan batuan tuff lapili.
Problem pembuatan terowongan air di masa lalu memang terkait batuan material yang tersusun menjadi daratan. Tim ahli geologi menemukan formasi tuff lapili, lava andesit, dan batuan intrusi di area proyek Bendungan Tamblang. Ada pula penemuan singkapan bekuan lava yang cukup keras.
“Itu yang menjadi masalah teknis (pembuatan terowongan). Tidak hanya zaman dahulu,tapi juga sekarang,” kata Ida Bagus Oka Agastya, selaku anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengurus Daerah Bali. Dia menambahkan, intrusi menyebabkan pembuatan terowongan mengalami kebuntuan.
Setelah 10 abad berlalu, kini di tempat yang sama tengah dibangun proyek Bendungan Tamblang. Proyek ini sudah dikerjakan sejak September 2019. “Bendungan Tamblang akan memenuhi kebutuhan irigasi untuk 588 hektarelahan pertanian,” kata Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, I Gede Pancarasa. Bendungan Tamblang juga akan menyuplai kebutuhan air baku dan pembangkit listrik mikrohidro.
Keberadaan terowongan kuno di bawah poros fondasi utama bendungan menjadi tantangan tersendiri. “Perlu solusi penanganan agar tidak menjadi sumber kebocoran (bendungan) dan keruntuhan terowongan,” ucapnya.