Halodunia.net Pada Natal tahun 1963, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Soetjipto Danoekoesoemo masih seorang muslim. Sementara istrinya, Elly Maria, beragama Kristen. Hari itu, Soetjipto rehat sejenak di sela tugas hariannya sebagai Komandan Brigade Mobil Pusat. Dia bertugas di korps tersebut saat masih bernama Polisi Istimewa, sejak masih berpangkat Inspektur hingga berpangkat setara Letnan Kolonel. Soetjipto lahir di Tulungagung pada 28 Februari 1922. Dia sudah menjadi polisi sejak tahun 1943. Dalam buku Hari-hari Bahagia Bersama Rakyat (1997:38) disebutkan bahwa mulai 1943 hingga awal 1945, Soetjipto ditempatkan di Surabaya. Setahun kemudian, tepatnya lima hari setelah Natal 1964, Soetjipto mendapat panggilan dari Istana Merdeka untuk dilantik menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) alias orang nomor satu di kepolisian RI.
“Setelah menjabat pimpinan Polri, pangkatnya dinaikkan menjadi Irjenpol,” tulis Awaloeddin Djamin dan kawan-kawan dalam Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang (2006:314). Irjenpol (Inspektur Jenderal Polisi) setara dengan Mayor Jenderal. Artinya, pangkat Soetjipto naik tiga tingkat. Ketidakpuasan di kalangan perwira polisi muncul terkait pengangkatan Soetjipto. “Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik,” tulis Muradi dalam buku Negara Intelijen Ketakutan (2006:85).
Di sisi lain, pengangkatannya menjadi kabar baik bagi kelompok anti komunis di kepolisian. Sebagai Menpangak periode 1964-1965, sebut Awaloeddin Djamin (2006:315), Soetjipto mengadakan pembersihan terhadap para perwira tinggi polisi yang pro komunis, meski Presiden Sukarno tidak menyukai langkah tersebut.
Suatu hari, Soetjipto diundang Presiden Sukarno ke Istana Bogor untuk makan bersama yang juga dihadiri oleh Chaerul Saleh dan Johanes Leimena. Seperti dicatat Awaloeddin Djami dalam Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia: Dari Zaman Kuno Sampai Sekarang (2006), sebelum makan, Soetjipto berkata kepada presiden. “Saya tidak bisa mengerti grand strategi (arah strategi) Bapak tentang Nasakom,” ujarnya. Soetjipto bukan perwira politis, dia hanya perwira yang mencoba lurus dan tidak mau terombang-ambing oleh politik seperti pesan Sukarno kepada tentara pada tahun-tahun lampau. Namun, Leimena sempat memberi isyarat pada Soetjipto bahwa kata-katanya itu tidak bagus didengar presiden. Maka malam itu juga, Soetjipto diberitahu bahwa dia akan diganti sebagai Menpangak dan diberi jabatan baru sebagai Duta Besar RI untuk Bulgaria. Jadi, Soetjipto tidak genap dua tahun menjabat sebagai Menpangak atau Kapolri. Dalam sejarah Polri, Soetjipto adalah Kapolri ketiga dan Kapolri termuda nomor dua setelah Soekanto ketika baru dilantik. Soetjipto menyambut masa tuanya dengan menjadi anggota DPRGR/MPRS dan kemudian DPR di masa awal Orde Baru. Di masa tuanya, tepatnya pada 1 Januari 1981, seperti ditulis dalam Ensklopedi Kapolri: Jenderal Polisi R. Soetjipto Danoekoesoemo Kapolri ke-3 Periode Tahun 1964 s.d. 1965 (2007:10), Soetjipto Danoekoesoemo pindah agama dari Islam menjadi Kristen Protestan, dan dibaptis pada 11 Mei 1981.
Widodo Budidarmo lahir pada 1 September 1927. Ia lulus dari PTIK pada 1955 bersama Hoegeng Imam Santoso–Kapolri periode 1968-1971. Tempo edisi 20 September 2004 menyebut Widodo memulai kariernya di kepolisian sebagai perwira polisi air dan udara–yang pernah mengambil kapal patroli dari Jepang ke Indonesia dan kapalnya dihantam ombak hingga nyaris tenggelam. Sebelum menjabat sebagai Kapolri, Widodo adalah Kapolda Metro Jaya. Oleh sebagian kalangan, dia dianggap polisi jujur. Saat masih menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya, dia tak ragu menyerahkan anaknya untuk diproses secara hukum karena insiden pistol dinas yang menewaskan supirnya. Selain itu, Widodo juga pernah membiarkan beberapa perwira polisi dipidanakan karena korupsi.
Menurut laporan Tempo (30/09/1978), Deputi Kapolri Letnan Jenderal Siswadji dan Kepala Jawatan Keuangan Polri Brigadir Jenderal Prajitno, bersama Kolonel Polisi Suroso dan Letnan Kolonel Polisi Paimin Sumarna, disidang dalam kasus korupsi. Mereka dinilai memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan negara. Kasus itu mencuat setelah Hoegeng mendapat laporan dari Provost. Dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa (2009) diceritakan bahwa Hoegeng mengirim sebuah memo kepada Widodo yang isinya berbunyi, “Wid, sekarang ini kok polisi sudah kaya-kaya, sampai sudah ada yang punya rumah mewah di Kemang. Dari mana duitnya itu?”. Kasus korupsi ini ramai diperbincangkan, meski petinggi ABRI tak menyukainya. “Selesaikan saja diam-diam sebab akan malu kita semua nanti,” kata Widodo Budidarmo menirukan ucapan Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean, seperti dicatat Julius Por dalam profil Widodo di harian Kompas (15/09/2004). Di mata Hoegeng, seperti disebut dalam Tempo (20/09/2004), Widodo adalah polisi jujur yang sulit disogok. Itulah kenapa Hoegeng pernah menunjuknya sebagai Kapolda Sumatra Utara.