KITA harus jujur, 2020 adalah tahun terberat dari masa pemerintahan Presiden Jokowi. Ada banyak tantangan. Pandemi Covid-19 berdampak luas pada gangguan kesehatan rakyat serta berdampak pada sektor sosial dan ekonomi. Hingga 15 September 2020, sebanyak 225.030 orang terjangkit Covid-19. Dari jumlah itu, sebanyak 161.065 orang dinyatakan sembuh dan 8.965 orang meninggal. Tren positivity rate juga meningkat. Saat ini rata-rata rakyat kita yang positif Covid-19 di atas 3.500 orang. Tentu, bukan kabar menggembirakan.
Meluasnya persebaran Covid-19 hingga ke 34 provinsi memaksa aktivitas masyarakat untuk membatasi diri, sebagian daerah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). PSBB dipilih sebagai jalan mengurangi persebaran virus. Baik warga yang memilih membatasi diri maupun wilayah yang karena kebijakan pemerintah dibatasi ruang gerak warganya sama-sama berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi.
Dampaknya, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kita negatif 5,32 persen pada kuartal II 2020. Beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan negatif paling dalam, antara lain, angkutan udara -77,24 persen; angkutan rel -59,11 persen; penyediaan akomodasi -42,25 persen; industri angkutan -37,54 persen; pergudangan dan jasa penunjang angkutan -34,88 persen; serta perdagangan mobil, sepeda motor, dan reparasi -30,60 persen. Namun, di tengah pandemi masih ada harapan. Beberapa sektor tumbuh baik, antara lain tanaman pangan 34,77 persen; perkebunan 23,46 persen; pertambangan biji logam 20,33 persen; serta pertanian dan perburuhan 11,23 persen.
Terkoreksinya pertumbuhan ekonomi kita dari kuartal I 2020 yang masih tumbuh positif 2,97 persen adalah sebagai akibat dari pengetatan mobilitas penduduk melalui PSBB, terutama di Jabodetabek. Pada kuartal III 2020 saya memperkirakan ekonomi kita memasuki resesi dengan pertumbuhan PDB dalam rentang -3,6 sampai -2,9 persen. Pertumbuhan negatif ini tidak sedalam pada kuartal II 2020 karena efek dari pelonggaran kebijakan PSBB sejak Juni 2020, sehingga sektor riil bisa bergeliat kembali meski dalam kapasitas 50 persen.
Menghadapi ekonomi ke depan, kita perlu mempersiapkan diri dengan baik, tidak perlu membuat kegaduhan, baik karena akrobat kebijakan maupun pernyataan. Resesi sudah hampir pasti akan kita hadapi. Saya sangat berharap kesadaran kita semua untuk patuh pada protokol kesehatan (prokes). Tingginya positivity rate saat ini sebagai panenan yang harus kita terima karena ketidakdisiplinan mematuhi prokes. Pengetatan kembali PSBB di Jakarta yang diberlakukan oleh gubernur DKI berpotensi kembali menekan perekonomian pada kuartal IV 2020.
Gotong Royong
Saya berharap kita semua terintegrasi dalam membuat kebijakan, termasuk pernyataan-pernyatan ke publik. Satu langkah tersebut akan menghasilkan spektrum yang luas, mempertimbangkan semua aspek. Pelajaran dari kebijakan pengetatan PSBB di DKI yang tidak dipersiapkan sedari awal. Begitu mendadaknya rencana PSBB berdampak pada pasar saham.
Tantangan kita ke depan semakin berat. Turning point kita dimulai dari kenyataan angka positif Covid-19 tinggi dan resesi ekonomi yang bakal beruntun di beberapa kuartal. Setidaknya pada kuartal II–IV 2020. Saya mengharapkan semua berhati-hati. Pelonggaran PSBB ibarat pedal gas dan pengetatan PSBB adalah pedal rem. Keduanya harus tepat digunakan bila tidak ingin negara kita nabrak.
Saya mengajak kita meresapi dengan hening penggalan pidato Bung Karno (BK) pada 1 Juni 1945: ’’Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong!’’
Sepenggal pidato BK itu tidak didapatkan dari langit. Perjalanan panjang menapaki garis perjuangan, melintasi berbagai suku, budaya, dan agama ke seantero negeri menemukan gotong royong adalah praktik budaya yang hidup di tengah-tengah rakyat. Saya melihat masih ada asa, gotong royong masih hidup subur di masyarakat.
Gotong royong perlu kita gelorakan. Kita nyalakan sebagai lampu penerang, bukan centang-perenang dalam pandemi. Tidak ada haters dan lovers. Dinding-dinding pemisah di antara kita mari kita sudahi. Pemerintah perlu terbuka dan arif terhadap masukan. Kelompok-kelompok masyarakat juga tidak banal dalam menyusun kritikan.
Kita sedang melalui pandemi dan bersiap resesi. Semua harus mematuhi prokes. Pemerintah terus meningkatkan kemampuan tes, pelacakan, isolasi, perawatan, serta mempersiapkan vaksin hingga awal 2021. Kita juga perlu fokus optimalisasi serapan program belanja pembangunan 2020 ini. Kita harus sepaham bahwa belanja pemerintah adalah satu-satunya kontributor yang masih positif dalam menopang pertumbuhan PDB kita, selain konsumsi rumah tangga, PMTB, serta ekspor dan impor.
Belanja kesehatan per 31 Agustus 2020 baru Rp 15 triliun dari total anggaran yang disiapkan Rp 75 triliun. Itu perlu ditingkatkan bila melihat data tingginya rakyat yang positif Covid-19. Dukungan untuk sektor UMKM sebagai jantung ekonomi rakyat juga perlu dioptimalkan. Per 31 Agustus 2020, serapan masih Rp 52 triliun dari Rp 123,46 triliun. Insentif usaha yang menyasar keringanan pajak bagi para pelaku usaha yang baru terserap Rp 18,8 triliun dari plafon Rp 120,61 triliun.
Untuk optimalisasi itu, seluruh jajaran penyelenggara pemerintah butuh kerja keras. Saya tahu bahwa bekerja di tengah pandemi tidak mudah. Terdapat keterbatasan ruang gerak, termasuk keterbatasan personel serta daya dukung. Oleh sebab itu, alokasikan seluruh daya dan pikiran untuk mencapai key performance indicator yang sudah ditetapkan.
Beberapa sektor yang potential winner seperti sektor primer pertanian, perkebunan, kelautan, dan industri turunannya butuh terus digenjot. Memperbaiki kinerja ekspor juga perlu ditingkatkan. Meskipun tidak mudah, peluangnya tetap ada, terutama sektor pangan, industri alat-alat kesehatan, dan sektor-sektor lainnya yang potensial. Terakhir, ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Tidak ada manfaatnya untuk gaduh. Songsong hari-hari dengan kerja, kerja, dan kerja.